Plummer (1983) gaya hidup adalah
cara hidup individu yang di identifikasikan oleh bagaimana orang
menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap penting
dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang dunia
sekitarnya. Adler (dalam Hall & Lindzey, 1985) menyatakan bahwa
gaya hidup adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap dan perilaku
seseorang dalam hubungannya dengan 3 hal utama dalam kehidupan yaitu
pekerjaan, persahabatan, dan cinta sedangkan Sarwono (1989) menyatakan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi gaya hidup adalah konsep diri.
Hawkins (dalam Nugroho, 2002) yang
mengatakan bahwa pola hidup yang berhubungan dengan uang dan waktu
dilaksanakan oleh seseorang berhubungan dengan keputusan. Orang yang
sudah mengambil suatu keputusan langkah selanjutnya adalah tindakan.
Orang yang sudah mengambil keputusan
untuk mencari kesenangan dari uang yang dimiliki seperti melakukan
aktivitas nyata untuk berbelanja di mall atau supermarket, tentu saja
memberi nilai tambah dari pada berbelanja di toko biasa. Adapun
penggunaan waktu dengan gaya hidup merupakan kreativitas individu dalam
memanfaatkan waktu yang ada untuk kegiatan yang bermanfaat atau kegiatan
untuk bersenang-senang.
Menurut SRI International (1989) salah satu contoh segmentasi psikografis
adalah VALS 2. Dalam VALS 2 (Values & Life Style) terdapat dua
dimensi yang menjadi titik beratnya, yaitu self orientation dan
resources. Resources yang dimaksudkan bukanlah semata-mata materi,
tetapi dalam arti yang luas yang mencakup sarana dan kapasitas
psikologis, fisik, dan demografis. Dalam perilaku konsumsi yang didorong
oleh self orientation terdapat tiga kategori yaitu principle, status
dan action.
Self orientation yang bertumpu pada
principle, berarti keputusan untuk membeli berdasarkan karena
keyakinannya. sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena
ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Boleh dikatakan tipe ini
lebih rasional sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam
mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk bermerek
menjadi pilihannya. Bagi yang bertumpu kepada action, keputusan dalam
berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun
fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang
di dunia yang di ekspresikan dalam aktivitas, minat, opininya dan
dimensi self orientation gaya hidup mencakup tiga kategori yaitu
prinsip, status, aksi.
Bentuk-bentuk Gaya Hidup
Menurut Chaney (dalam Idi Subandy,1997) ada beberapa bentuk gaya hidup, antara lain :
a. Industri Gaya Hidup
Dalam abad gaya hidup, penampilan-diri itu justru mengalami estetisisasi, “estetisisasi kehidupan sehari-hari” dan bahkan tubuh/diri (body/self) pun justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. “Kamu bergaya maka kamu ada!” adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan.
b. Iklan Gaya Hidup
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di dalam era globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
c. Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup
Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture), para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran “aksesori fashion”. Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-Generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired identity)-cara mereka berselancar di dunia maya (Internet), cara mereka gonta-ganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
Menurut Chaney (dalam Idi Subandy,1997) ada beberapa bentuk gaya hidup, antara lain :
a. Industri Gaya Hidup
Dalam abad gaya hidup, penampilan-diri itu justru mengalami estetisisasi, “estetisisasi kehidupan sehari-hari” dan bahkan tubuh/diri (body/self) pun justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyemaian gaya hidup. “Kamu bergaya maka kamu ada!” adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan.
b. Iklan Gaya Hidup
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra. Di dalam era globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
c. Public Relations dan Journalisme Gaya Hidup
Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture), para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran “aksesori fashion”. Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-Generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired identity)-cara mereka berselancar di dunia maya (Internet), cara mereka gonta-ganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
d. Gaya Hidup Mandiri
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
e. Gaya Hidup Hedonis
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup dapat berupa gaya hidup dari suatu penampilan, melalui media iklan, modeling dari artis yang di idola kan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab dalam pola perilakunya.
Kemandirian adalah mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Nalar adalah alat untuk menyusun strategi. Bertanggung jawab maksudnya melakukan perubahan secara sadar dan memahami betuk setiap resiko yang akan terjadi serta siap menanggung resiko dan dengan kedisiplinan akan terbentuk gaya hidup yang mandiri. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggung jawab, serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut.
e. Gaya Hidup Hedonis
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dari suatu gaya hidup dapat berupa gaya hidup dari suatu penampilan, melalui media iklan, modeling dari artis yang di idola kan, gaya hidup yang hanya mengejar kenikmatan semata sampai dengan gaya hidup mandiri yang menuntut penalaran dan tanggung jawab dalam pola perilakunya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup
Menurut pendapat Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) gaya hidup seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang dan jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.
Lebih lanjut Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2 faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar (eksternal).
Menurut pendapat Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) gaya hidup seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang dan jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.
Lebih lanjut Amstrong (dalam Nugraheni, 2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada 2 faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar (eksternal).
Faktor internal yaitu sikap, pengalaman,
dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, dan persepsi
(Nugraheni, 2003) dengan penjelasannya sebagai berikut :
a.Sikap. Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorganisasi melalui pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku. Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan sosialnya.
b.Pengalaman dan pengamatan. Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan sosial dalam tingkah laku, pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya dimasa lalu dan dapat dipelajari, melalui belajar orang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil dari pengalaman sosial akan dapat membentuk pandangan terhadap suatu objek.
c.Kepribadian. Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik individu dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap individu.
d.Konsep diri. Faktor lain yang menentukan kepribadian individu adalah konsep diri. Konsep diri sudah menjadi pendekatan yang dikenal amat luas untuk menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen dengan image merek. Bagaimana individu memandang dirinya akan mempengaruhi minat terhadap suatu objek. Konsep diri sebagai inti dari pola kepribadian akan menentukan perilaku individu dalam menghadapi permasalahan hidupnya, karena konsep diri merupakan frame of reference yang menjadi awal perilaku.
e. Motif. Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk merasa aman dan kebutuhan terhadap prestise merupakan beberapa contoh tentang motif. Jika motif seseorang terhadap kebutuhan akan prestise itu besar maka akan membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya hidup hedonis.
f. Persepsi. Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk suatu gambar yang berarti mengenai dunia.
a.Sikap. Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek yang diorganisasi melalui pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku. Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan sosialnya.
b.Pengalaman dan pengamatan. Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan sosial dalam tingkah laku, pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya dimasa lalu dan dapat dipelajari, melalui belajar orang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil dari pengalaman sosial akan dapat membentuk pandangan terhadap suatu objek.
c.Kepribadian. Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik individu dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap individu.
d.Konsep diri. Faktor lain yang menentukan kepribadian individu adalah konsep diri. Konsep diri sudah menjadi pendekatan yang dikenal amat luas untuk menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen dengan image merek. Bagaimana individu memandang dirinya akan mempengaruhi minat terhadap suatu objek. Konsep diri sebagai inti dari pola kepribadian akan menentukan perilaku individu dalam menghadapi permasalahan hidupnya, karena konsep diri merupakan frame of reference yang menjadi awal perilaku.
e. Motif. Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk merasa aman dan kebutuhan terhadap prestise merupakan beberapa contoh tentang motif. Jika motif seseorang terhadap kebutuhan akan prestise itu besar maka akan membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya hidup hedonis.
f. Persepsi. Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk suatu gambar yang berarti mengenai dunia.
Adapun faktor eksternal dijelaskan oleh Nugraheni (2003) sebagai berikut :
a. Kelompok referensi. Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Kelompok yang memberikan pengaruh langsung adalah kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya dan saling berinteraksi, sedangkan kelompok yang memberi pengaruh tidak langsung adalah kelompok dimana individu tidak menjadi anggota didalam kelompok tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menghadapkan individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.
b. Keluarga. Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku individu.Hal ini karena pola asuh orang tua akan membentuk kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola hidupnya.
c. Kelas sosial. Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang, dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat, dan tingkah laku yang sama. Ada dua unsur pokok dalam sistem sosial pembagian kelas dalam masyarakat, yaitu kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang dalam lingkungan pergaulan, prestise hak-haknya serta kewajibannya. Kedudukan sosial ini dapat dicapai oleh seseorang dengan usaha yang sengaja maupun diperoleh karena kelahiran. Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila individu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan.
d. Kebudayaan. Kebudayaan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, meliputi ciri-ciri pola pikir, merasakan dan bertindak.
a. Kelompok referensi. Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang. Kelompok yang memberikan pengaruh langsung adalah kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya dan saling berinteraksi, sedangkan kelompok yang memberi pengaruh tidak langsung adalah kelompok dimana individu tidak menjadi anggota didalam kelompok tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menghadapkan individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.
b. Keluarga. Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku individu.Hal ini karena pola asuh orang tua akan membentuk kebiasaan anak yang secara tidak langsung mempengaruhi pola hidupnya.
c. Kelas sosial. Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang, dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat, dan tingkah laku yang sama. Ada dua unsur pokok dalam sistem sosial pembagian kelas dalam masyarakat, yaitu kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang dalam lingkungan pergaulan, prestise hak-haknya serta kewajibannya. Kedudukan sosial ini dapat dicapai oleh seseorang dengan usaha yang sengaja maupun diperoleh karena kelahiran. Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila individu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan.
d. Kebudayaan. Kebudayaan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, meliputi ciri-ciri pola pikir, merasakan dan bertindak.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup berasal
dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Faktor internal
meliputi sikap, pengalaman dan pengamatan, kepribadian, konsep diri,
motif , dan persepsi. Adapun faktor eksternal meliputi kelompok
referensi, keluarga, kelas sosial, dan kebudayaan.
Clubbing
1. Pengertian Clubbing
Clubbing merupakan istilah prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sasaat (Perdana, 2004). Melalui clubbing khususnya anak muda merasa menemukan jati diri, disana mereka bisa “berjingkrak-jingkrak” sebebasnya, meneguk alkohol dan narkoba, cekikikan sampai pagi, lalu pulang dalam keadaan teler dan capai. Melalui clubbing mereka bisa menemukan komunitas bergaulnya. Singkatnya clubbing adalah just having fun, sekedar hura-hura dan membutuhkan banyak uang.
1. Pengertian Clubbing
Clubbing merupakan istilah prokem khas anak muda yang berarti suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sasaat (Perdana, 2004). Melalui clubbing khususnya anak muda merasa menemukan jati diri, disana mereka bisa “berjingkrak-jingkrak” sebebasnya, meneguk alkohol dan narkoba, cekikikan sampai pagi, lalu pulang dalam keadaan teler dan capai. Melalui clubbing mereka bisa menemukan komunitas bergaulnya. Singkatnya clubbing adalah just having fun, sekedar hura-hura dan membutuhkan banyak uang.
Clubbing sudah sangat identik dengan
kehidupan masyarakat metropolitan. Tidak hanya menjadi bagian dari gaya
hidup, tapi juga menjadi sarana bersosialisasi, bahkan melakukan lobi
bisnis. Dulu clubbing selalu diasosiasikan dengan musik menghentak yang
dapat membuat orang larut dalam suasana. Seiring perkembangan zaman,
clubbing mengalami banyak pergeseran karena tidak semua orang suka musik
semacam itu. Pada hakikatnya suasana yang hingar bingar bukan lagi daya
tarik utama. Banyak tempat hiburan di Jakarta meninggalkan konsep
diskotek dan beralih pada konsep Resto and lounge yang ternyata lebih
menarik konsumen usia 25-35 tahun. Kehadiran Resto and lounge yang
bertebaran di Jakarta tidak berarti gulung tikarnya beberapa tempat yang
benar-benar dirancang bagi yang hobi melantai diiringi musik seorang DJ
atau Disc Jockey (www.bintang.com)
Jumlah tempat hiburan malam terus
bertambah. Kejenuhan pasar membuat tawaran konsep harus berbeda dengan
yang telah beroperasi. HL adalah salah satu tempat clubbing favorit
clubbers di Jakarta, pada malam-malam clubbers khususnya ketika
discotime dimulai pada jam 11 malam tenpat ini selalu ramai. Para
pebisnis entertaiment ini sangat pintar untuk menarik perhatian para
clubbers dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang beragam yang menjadi
trend setter bagi kalangan night society, misalnya dengan membebaskan
para wanita biaya cover charge dan membiarkan mereka clubbing sepenuhnya
agar kaum wanita yang datang membludak dan kaum pria akan terpancing
untuk datang ketempat tersebut. Selain itu dengan memberikan free flow
vodka and champagne for ladies all night (memberikan minum vodka dan
champgne untuk wanita sepanjang malam), bahkan yang lebih berani adalah
menjual program yang berbau sexy, seksual yang menjadi fokus utama
(www.popular.maj.com).
Adat dan tradisi masa lalu benar-benar tergeser dengan adanya perkembangan dunia yang semakin pesat. Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi industrialisme. Bangsa barat berhasil merangsak bangsa-bangsa timur (terutama yang berbaris Islam) dengan produk-produknya yang ditumpangi oleh warna-warna budaya barat yang sangat kontras dengan moralitas dan religiusitas bangsa timur. Misalnya dengan adanya trend fashion yang pamer aurat, dentum musik yang merangsang kelalaian hati terhadap Allah, ajang pergaulan bebas yang memanjakan syahwat setan hingga sarana-sarana teknologis yang membutuhkan solidaritas sosial. Semua produk yang dipromosikan secara massal tersebut sebenarnya merupakan bentuk baru penjajahan neo-kolonisme. Ironisnya, kebanyakan dari kita terutama kaum clubbing sama sekali tidak menyadari ancaman-ancaman moralitas dan martabat dari invasi tersebut, justru memantapkan diri sebagai bagian penyembah dan budak dari penjajahan kapitalisme tersebut yang sesuai dengan ideologi mereka just having fun.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa clubbing merupakan suatu kegiatan untuk datang dan menikmati suasana, suguhan hiburan, makanan dan minuman di tempat-tempat hiburan malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sesaat.
Adat dan tradisi masa lalu benar-benar tergeser dengan adanya perkembangan dunia yang semakin pesat. Dengan kecanggihan pengetahuan dan teknologi industrialisme. Bangsa barat berhasil merangsak bangsa-bangsa timur (terutama yang berbaris Islam) dengan produk-produknya yang ditumpangi oleh warna-warna budaya barat yang sangat kontras dengan moralitas dan religiusitas bangsa timur. Misalnya dengan adanya trend fashion yang pamer aurat, dentum musik yang merangsang kelalaian hati terhadap Allah, ajang pergaulan bebas yang memanjakan syahwat setan hingga sarana-sarana teknologis yang membutuhkan solidaritas sosial. Semua produk yang dipromosikan secara massal tersebut sebenarnya merupakan bentuk baru penjajahan neo-kolonisme. Ironisnya, kebanyakan dari kita terutama kaum clubbing sama sekali tidak menyadari ancaman-ancaman moralitas dan martabat dari invasi tersebut, justru memantapkan diri sebagai bagian penyembah dan budak dari penjajahan kapitalisme tersebut yang sesuai dengan ideologi mereka just having fun.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa clubbing merupakan suatu kegiatan untuk datang dan menikmati suasana, suguhan hiburan, makanan dan minuman di tempat-tempat hiburan malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, hedonis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sesaat.
2. Pelaku Clubbing
Mayoritas para clubbers adalah para generasi muda yang memiliki status sosio-ekonomi yang cukup baik. Ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material yang menopang aktivitas clubbing yang jelas membutuhkan dana ekstra. Mulai dari pemilihan pakaian yang bermerek, properti, kendaraan, hingga perangkat clubbing itu sendiri (Perdana.2004).
Selain itu menurut Susanto (2001), konsumen atau para pelaku clubbing itu tidak hanya para generasi muda yang notabennya sebagai pelajar dan mahasiswa, tetapi para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses, bahkan ibu rumah tangga ada juga yang menjadi para pelaku clubbing.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para pelaku clubbing itu mayoritas berasal dari para generasi muda, para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses dan ibu rumah tangga pun juga ada yang melakukan clubbing.
Mayoritas para clubbers adalah para generasi muda yang memiliki status sosio-ekonomi yang cukup baik. Ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material yang menopang aktivitas clubbing yang jelas membutuhkan dana ekstra. Mulai dari pemilihan pakaian yang bermerek, properti, kendaraan, hingga perangkat clubbing itu sendiri (Perdana.2004).
Selain itu menurut Susanto (2001), konsumen atau para pelaku clubbing itu tidak hanya para generasi muda yang notabennya sebagai pelajar dan mahasiswa, tetapi para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses, bahkan ibu rumah tangga ada juga yang menjadi para pelaku clubbing.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para pelaku clubbing itu mayoritas berasal dari para generasi muda, para eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses dan ibu rumah tangga pun juga ada yang melakukan clubbing.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Clubbing
Kaum clubbers secara logis dalam konteks ini adalah kaum plagiator yang mengimpor secara mentah-mentah gaya hidup dunia barat kedalam kehidupan sosial mereka. Di kalangan para clubbers, ada tiga narasi yang selalu melandasi cara pandang dan perilakunya, yakni gaul, funcy, dan happy dimana kesemuanya berlabuh pada satu narasi besar (grand naration) yakni gensi. Tidak jelas siapa yang mulai melontarkan dan mempopulerkan istilah tersebut, disini Perdana (2004) dalam bukunya yang berjudul “Dugem : ekspresi cinta, seks, dan jati diri” menjelaskan wujud ekspresi dari ketiga narasi tersebut. Hal tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda melakukan clubbing. Adapun faktor-faktornya adalah :
a. “Gaul”, istilah “gaul” berasal dari kata baku “bergaul” atau “pergaulan” yaitu sebuah sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan kontak sosial yang melibatkan lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas clubbing, istilah “gaul” bukan lagi menjadi “media sosialisasi” untuk melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan telah menjadi “ajang pelampiasan hawa nafsu”. Kebanyakan bentuk “gaul” ini justru menjadi pintu gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba, hingga pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana epitemologisnya, istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah “gaul”. Pemaknaan funcy selalu dipertautkan dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar mencari sensasi dan pelampiasan emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari hasil eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia, selalu bahagia. Dengan “bergaul”, berinteraksi dan membaur dalam warna komunitas “bergaul”nya, kaum remaja merasa menemukan jati diri yang tepat dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati disini yaitu bebas berbuat apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido seksualnya. Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.
Kaum clubbers secara logis dalam konteks ini adalah kaum plagiator yang mengimpor secara mentah-mentah gaya hidup dunia barat kedalam kehidupan sosial mereka. Di kalangan para clubbers, ada tiga narasi yang selalu melandasi cara pandang dan perilakunya, yakni gaul, funcy, dan happy dimana kesemuanya berlabuh pada satu narasi besar (grand naration) yakni gensi. Tidak jelas siapa yang mulai melontarkan dan mempopulerkan istilah tersebut, disini Perdana (2004) dalam bukunya yang berjudul “Dugem : ekspresi cinta, seks, dan jati diri” menjelaskan wujud ekspresi dari ketiga narasi tersebut. Hal tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda melakukan clubbing. Adapun faktor-faktornya adalah :
a. “Gaul”, istilah “gaul” berasal dari kata baku “bergaul” atau “pergaulan” yaitu sebuah sistem sosial yang terbentuk melalui interaksi, komunikasi dan kontak sosial yang melibatkan lebih dari satu orang. Akan tetapi dalam komunitas clubbing, istilah “gaul” bukan lagi menjadi “media sosialisasi” untuk melengkapi fitrah kemanusiaannya, melainkan kebanyakan telah menjadi “ajang pelampiasan hawa nafsu”. Kebanyakan bentuk “gaul” ini justru menjadi pintu gerbang bagi lahirnya generasi-generasi penganut seks bebas, pecandu narkoba, hingga pelacuran dan penjahat sosial.
b. Funcy, istilah funcy secara aksiologis tanpa memperdebatkan wacana epitemologisnya, istilah funcy selalu berlekatan dengan istilah “gaul”. Pemaknaan funcy selalu dipertautkan dengan bentuk-bentuk eksperimentasi yang tanpa landasan argumentasi yang jelas, sekedar mencari sensasi dan pelampiasan emosi-emosi jiwa yang tidak terkendali. Ini bisa dilihat dari hasil eksperimentasi mereka dalam hal kostum, kendaraan, fisik dan gaya hidup.
c. Happy, istilah happy berasal dari bahasa inggris yang berarti bahagia, selalu bahagia. Dengan “bergaul”, berinteraksi dan membaur dalam warna komunitas “bergaul”nya, kaum remaja merasa menemukan jati diri yang tepat dengan selera dan jiwa mudanya daripada apa yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Mereka merasa menemukan kebahagiaan sejati disini yaitu bebas berbuat apa saja, banyak teman, termasuk bebas menyalurkan gelora libido seksualnya. Namun kebahagiaan yang mereka dapatkan adalah kebahagiaan semu.
Clubbing merupakan salah satu gaya hidup
di zaman sekarang yang merupakan hasil adopsi dari negara-negara barat.
Seseorang melakukan clubbing ada kemungkinan besar karena terinspirasi
akan kehidupan para selebritis, orang-orang terkenal, orang-orang yang
bekerja di bidang intertainmen dalam memperoleh kesenangan. Clubbing
dipandang oleh individu sebagai gaya hidup yang modern. Piliang (2006)
menyatakan bahwa individu dalam mengikuti gaya hidup modern dipengaruhi
oleh faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern merupakan faktor yang
berasal dari dalam diri individu berhubungan dengan minat dan dorongan
seseorang untuk melakukan kegiatan yang diinginkan sesuai dengan
perasaan hati. Selain itu, faktor intern individu melakukan clubbing
dipengaruhi sikap. Sikap lebih cenderung berhubungan dengan kepribadian
individu dalam menentukan suatu fenomena yang ditemui dalam kehidupannya
(Piliang, 2006).
Dilanjutkan oleh Piliang (2006) bahwa faktor ektern merupakan faktor di luar individu yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ekstern ini dibedakan atas faktor keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor lingkungan keluarga yang kurang harmonis berdampak pada anggota keluarga untuk mencari kesenangan di luar rumah dan clubbing merupakan satu pilihan untuk mencari kesenangan tersebut. Adapun faktor lingkungan sosial merupakan faktor sosial individu dalam kegiatannya sehari-hari. Individu yang memiliki sifat tidak tetap pendiriannya akan mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan sosial, di mana individu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Apabila lingkungan sosial cenderunng dalam kehidupan clubbing, maka ada kemungkinan besar individu tersebut juga masuk dalam lingkungan yang menyenangi gaya hidup clubbing.
Dilanjutkan oleh Piliang (2006) bahwa faktor ektern merupakan faktor di luar individu yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ekstern ini dibedakan atas faktor keluarga dan faktor lingkungan sosial. Faktor lingkungan keluarga yang kurang harmonis berdampak pada anggota keluarga untuk mencari kesenangan di luar rumah dan clubbing merupakan satu pilihan untuk mencari kesenangan tersebut. Adapun faktor lingkungan sosial merupakan faktor sosial individu dalam kegiatannya sehari-hari. Individu yang memiliki sifat tidak tetap pendiriannya akan mudah terpengaruh oleh keadaan lingkungan sosial, di mana individu melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Apabila lingkungan sosial cenderunng dalam kehidupan clubbing, maka ada kemungkinan besar individu tersebut juga masuk dalam lingkungan yang menyenangi gaya hidup clubbing.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi generasi muda untuk
melakukan clubbing adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang
berasal dari individu berhubungan dengan minat, motivasi, dan sikap
(untuk hidup funcy dan happy). Adapun faktor ekstern berasal dari
lingkungan keluarga dan lingkungan sosial (berhubungan dengan pergaulan
individu).
DAFTAR PUSTAKA
Hall,S.1985.Development Processes in Early education.London:Rount Ledge&Keggn Paul.
Hall,S.1985.Development Processes in Early education.London:Rount Ledge&Keggn Paul.
Nugraheni,P.N.A.2003. Perbedaan
Kecenderungan gaya Hidup Hedonis Pada Remaja Ditinjau dari Lokasi Tempat
Tinggal. Skripsi (tidak diterbitkan).
Perdana, D. 2004. Dugem:Ekspresi Cinta, Seks, dan Jati diri.Yogyakarta iva Press
Piliang, Y.A.2005. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra.
Plummer,R. 1983.Life Span Development Psychology:Personality and Socialization.New York:Academic Press.
Sakinah.2002.Media Muslim Muda.Solo.Elfata.
Sarwono,S.W.1989.Psikologi Remaja.Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Subandy,Idi. 1997.Ecstasy Gaya Hidup.Bandung : Penerbit Mizan
Susanto,A.B. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis.Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Values and Lifestyles Program.1989.Descriptive Materials for the VALS 2 Segmentation.Menlo Park, California: SRI International
Sumber: AQNUFA
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !